APRESIASI KARYA MADING AGUSTUS
Terimakasih kami ucapkan kepada saudara Samuel Valentino Nababan dan Monides Sagala atas karya yang sudah diberikan untuk Mading IMADA ,dengan tema "Kemerdekaan yang Hakiki" untuk bulan Agustus.
Semoga dapat selalu memberikan
karya/kreatifitasnya untuk IMADA
Mereka sudah ,kalian kapan?
Tunggu apalagi? Ayo tunjukkan
karya kalian untuk IMADA !
“TETAP MENJADI INDONESIA”
Apakah yang akan anda jawab ketika seorang
bertanya tentang seberapa besar cinta Anda pada Indonesia? Pernahkah perasaan
itu meluntur? Perasaan itu mungkin tidak pernah tumbuh sama sekali atau rasa
itu telah tumbuh subur tapi tak terawat yang berujung meluntur. Untuk semua jawaban
sebenarnya ada pada hati kita masing-masing, masyarakat Indonesia. Namun saat
ini, saya hendak mengutarakan jawaban saya akan pertanyaan tersebut.
Saya tumbuh di pedalaman Sumatera
Utara dengan atribut yang menempel dan mengikuti hidupku saat ini. Dalam
gagasan kebangsaan saya menjadi Indonesia, namun secara primordial saya kembali
menjadi Batak. Pada gagasan kepercayaan saya menjadi kristen mengikuti
kepercayaan orang tua saya. Secara kultural-intelektual, saya bertumbuh
dibanyak tempat : rumah, sekolah, kampus, gereja, jalan raya, sawah, kebun
kopi, danau, hutan, gunung dan udara. Semua tempat itulah yang kini membuat
saya tetap memilih menjadi Indonesia. Saya menjadi Indonesia dibanyak ruang dan
dengan banyak cara. Sehingga saat ini, saya masih bertikad baik untuk merayakan
hadirnya Indonesia dalam diri dan hidup keseharian ditengah masyarakat. Namun
cukupkah itu saja membuatmu tetap menjadi Indonesia? Tampaknya belum. Lantas
apa yang harus saya dan kita lakukan?
Melihat realitas dan mengingat
negeri tercinta kita ini, tengah dideru pilu, luka bahkan sakit parah setia
melanda. Indonesia kita kadang pergi entah kemana, tanpa memberi makna.
Indonesia, kadang ia menjadi sekedar nama tanpa menunjukkan perannya dan jati
diri yang sesungguhnya sebagai sebuah negara merdeka. Indonesia bahkan
kehilangan ruhnya sebagai sebuah gagasan. Hidup dinegeri ini, kita sangat
lumrah. Melihat dan mendengar cerita pilu dan duka pada negeri ini. Tengok saja
berita yang menghiasi lembaran-lembaran surat kabar setiap pagi. Isinya, hampir
semua negatif. Kekerasan terjadi dari disudut-sudut kompleks hingga ditengah
ramai jalan raya. Korupsi terus dirayakan dari desa-desa sampai dibalik meja
yang katanya Dewan Perwakilan Rakyat. Petugas pemberantas koruptor diintimidasi
hingga hampir dibutakan. Politik sakit parah, partai politik lebih tendensi
mementingkan kebutuhan partai sendiri. Senator-senator Indonesia lebih senang
ricuh daripada bekerja untuk rakyat, dewan dinegara ini tak lagi menjaga
kepercayaan rakyat sehingga kami tak lagi layak mempercayainya.
Lebih pilu lagi ketika pemimpin,
mahasiswa dan orang-orang dengan karakter tegas, punya integritas, bersikap
jujur, adil dan bersih namun harus dipenjarakan. Mereka dilemahkan, dikekang
dengan cara meledakkan sentimen-sentiman tertentu, khususnya sekarang ini
sentimen agama dipicu meledak untuk kepentingan elit-elit politik dan
melemahkan lawan politik. Dilanjut lagi soal pendidikan dan kesehatan susah
diutamakan dinegeri ini. Sungguh miris, lantas apa lagi yang membuat kita tetap
ingin menjadi Indonesia?
Negeri penuh paradoks. Barangkali
sebutan yang sangat tepat untuk menggambarkan kondisi jungkir-balik Indonesia
saat ini. Di satu sisi, kita menyaksikan drama kolosal orang-orang yang
“menghajar” Indonesia beserta artifak-artifaknya yang astifisial. Fenomena
devaluasi radikal tentang Indonesia merajalela dimana-mana. Di sisi lain, kita
masih menyaksikan pula orang-orang muda yang “mengajar” Indonesia melalui
narasi-narasi kecil, terbentang dari Sabang sampai Merauke. Dari Miangas sampai
Pulau Rote. Mereka antusias menebarkan rasa optimistik dan positif tentang
Indonesia ditengah-tengah kultur yang sedang sakit.
Mereka masih berusaha membangun
“kesempatan” ditengah “kesempitan”. Mereka benar-benar mengabdikan dirinya pada
masyarakat. Diruang itulah gagasan tentang Indonesia kembali diperbincangkan.
Ditanamkan, kita kembali belajar menjadi Indonesia. Tak peduli apapun kondisi
negeri ini. Kondisi paradoks tersebut justru membuka jalan kecil bagi kita
untuk tetap bersikap optimistik. Namun, strategi menumbuhkan pikiran optimistik
itu kita tempuh melalui cara yang unik; dekonstruksi Indonesia! Dengan
menampilkan apa-adanya kondisi kebobrokan Indonesia, malahan ini membuat kita
jadi melek. Ya, kita disadarkan untuk berpikir antisipatif sebelum Indonesia
benar-benar hilang dari peta dunia. Semoga begitu. Namun, itu semua mengkristal
pada satu kata: kerinduan akan Indonesia yang lebih bermartabat.
Selama dalam darah Kita ada rasa
Indonesia, kita akan selalu merindukan Ibu Pertiwi. Sekalipun kemana kaki kita
telah melangkah dibumi ini. Indonesia dengan keberagamannya, inilah yang
membuat negeri kita unik bukan kepalang. Keunikan ini pula yang membuat negeri
kita ini terus bertahan dari segala gempuran zaman. Sejarah telah
membuktikannya. Untuk semua itu, kita perlu menjaga keunikan tersebut dengan
cara tak mudah tersentil oleh sentimen-sentimen agama yang sengaja dipicu untuk
memecah belah, kemudian kita perlu untuk tetap hidup berdampingan dalam
kemajemukan serta hidup bersama dalam kejamakan yang satu.
Indonesia tetap jadi rumah kita dan
kita tak mungkin tinggal diam dan tak peduli. Setidaknya sebuah cara sederhana
harus dipikirkan untuk melakukan perbaikan. Bila pemimpin kita tak lagi bisa
diandalkan dan dipercaya, marilah mulai mengandalkan-mempercayai diri sendiri
demi melakukan sedikit perubahan (law of
attraction). Untuk menjawab pertanyaan diawal tentang seberapa besar cinta
saya pada Indonesia dan apakah pernah meluntur rasa itu. Saya jawab, “saya
mencintai negeri ini dengan begitu sederhana karena ada banyak cara tetap
mencintai negeri ini”. Saya mencintai Indonesia dengan begitu sederhana dan
tetap menjadi Indonesia.
Penulis : Monides
Sagala.
Bio : ”Mahasiswa
semester akhir dan seorang anak petani kopi”.
Instagram :
monidessagala Facebook : Monides Sagala
MERDEKA (LAH)
Betapa semaraknya ketika rakyat indonesia merayakan
ulang tahun Indonesia di hari ini, usia ke-72 tahun!
Usia yang apabila ditokohkan, adalah usia yang sudah
tua untuk meniup lilin 72 buah. Usia dimana saatnya untuk menikmati hasil jerih-payah
dari perjalanan perjuangan selama 72 tahun.
atau jangan-jangan…
Ini hanya seremonial semata, rutinitas yang diadakan
sekali setahun di tiap tanggal 17 Agustusnya.
Dimana kita hanya tahu untuk berdiri berbaris upacara
serapi mungkin, menancapkan bendera, memasang umbul-umbul, memakai pita, atau di
kalangan anak remaja kekinian dengan mengecat wajah yang semuanya itu dihiasi
corak warna MERAH-PUTIH.
semoga tidak…
Karena sejatinya ini bukan hanya soal perayaan tahunan
semata, tapi kita harus dapat memaknai kemerdekaan lebih jauh dan bila perlu
menyelaminya sedalam mungkin dan jangan lupa kembali ke permukaan. Hehehe.
Merdeka berarti bebas, tapi saya tidak menekankan di
kata ‘bebas’nya. Tetapi lebih ke bagaimana menikmati kemerdekaan yang secara
merata dan adil tanpa ada diskriminasi kenikmatan.
Kemerdekaan ialah hak segala rakyat bukan segelintir penguasa ataupun
hanya untuk kalangan yang berada.
Kemerdekaan harus sampai ke akar rumput! Sampai ke
lorong-lorong jalan, kolong-kolong jembatan, kaki-kaki lima, dari sabang sampai
merauke.
Bagaimana petani mengatakan merdeka, ketika tempat
untuk menanam padi pun sudah menjadi lahan ‘real estate’, bahkan ketika
memiliki lahan untuk ditanam, masih saja merintih dengan harga jual hasil panen
yang merosot tajam.
Bagaimana nelayan mengatakan merdeka, ketika hanya
bisa merana ketika ikan-ikan di laut Indonesia sudah malu-malu untuk
menampakkan diri, dan ketika pun ada tangkapan ikan hanya bisa berserah pasrah kepada
cengkeraman tangan tengkulak.
Bagaimana buruh pabrik mengatakan merdeka, ketika
bekerja tak kenal siang malam tapi malah masih mencicipi upah yang murah.
Bagaimana para aset dan generasi bangsa mengatakan
merdeka, ketika untuk menjangkau pendidikan harus mengemis dan berjuang
mengumpulkan rupiah sebanyak mungkin.
Yang masih harus bermimpi untuk mendapatkan pendidikan gratis.
Bagaimana pulak jutaan rakyat Indonesia yang harus
berjuang menghidupi dirinya bahkan bertarung meregang nyawa ketika biaya untuk
kesehatan harus dibayar mahal.
Bagaimana kita mengatakan merdeka ketika masih melihat
kemiskinan, pengangguran, korupsi, dan Diskriminasi SARA yang terus membumbui
perjalanan bangsa ini.
Miris?
Tragis lebih tepatnya.
Saya tertarik dengan perayaan ulang tahun negeri ini
dengan salah satu perayaan ulang tahun negeri ini. lomba panjat pohon pinang.
Ada sebuah
filosofi pada lomba panjat pinang, dimana dalam mencapai pohon pinang yang
berpuncakkan bendera kebangsaan merah putih, dibutuhkan gotong royong, bahu
membahu, saling menopang, dimana yang ada adalah ‘super team’ bukan ‘superman’.
Dan tentunya hadiah yang bergelantungan dinikmati bersama-sama.
Begitu juga dengan kemerdekaan Indonesia yang sudah
diraih oleh pejuang-pejuang kita dulu adalah tidak lepas dari persatuan visi
dan sama-sama bergerak untuk menegaskan bahwa negeri Indonesia adalah negara
yang bisa lepas dari kungkungan bangsa asing selama ratusan tahun!
tetapi,
Setelah Indonesia berhasil lahir dengan Proklamasi
yang diketik Sayuti Melik dan dibacakan Bung Karno tepatnya 72 tahun yang lalu
di Pegangsaan Timur, merdeka yang seharusnya dinikmati dari Sabang sampai
Merauke, dari Miangas sampai Pulau Rote, sampai saat ini belum dinikmati
bersama-sama. Kemerdekaan hanya dinikmati oleh mereka yang dapat berkuasa, yang
lebih necis pakaian dan lebih wangi bau badannya. Hanya segelintir orang yang
dapat mengatakan merdeka dan benar-benar menikmatinya ataupun orang-orang yang
merasa merdeka.
Bukan petani yang merintih di sawahnya, nelayan yang
merana di sampannya, buruh pabrik yang minum keringatnya sambil berbalutkan
kepulan asap, atau para anak-anak muda yang hanya bisa memimpikan sekolah tanpa
harus dibenturkan pada isi kantong saku.
Oleh sebab itu, supaya kata ‘merdeka’ bergema di
seluruh NKRI, haruslah semua benar-benar menikmatinya bukan hanya
meneriakkannya.
Hingga petani tidak takut lagi bertanam, nelayan tidak
takut lagi melaut, buruh pabrik akan lebih giat bekerja dan para calon generasi
bangsa tidak takut lagi untuk belajar dimanapun berada.
Inilah yang harus terwujud, sembari mencapai cita-cita
Pancasila khususnya sila kelima.
Semoga.
Semoga juga di usia Republik Indonesia yang ke-73 Tahun nanti, tulisan ini tidak
muncul lagi dengan isi yang sama. Hehehe.
MERDEKA LAH INDONESIA!!!
Oleh: SAMUEL NABABAN